Absen atau kehadiran itu selalu dijadikan salah satu parameter suatu mahasiswa lulus atau tidak dalam menempuh matakuliah di mayoritas universitas. Walaupun persentasenya biasanya tidaklah besar (kebanyakan persentasenya adalah 10%-20%). Tentu terasa janggal jika persentase yang kecil tersebut berubah menjadi momok yang menakutkan saat regulasi dari Universitas berbicara. Kenapa menakutkan? karena saat misalnya regulasi Universitas yang menerapkan bahwa minimal kehadiran untuk setiap matakuliah adalah 50% dan jika nilai absen hanya 40, walaupun nilai Tugas, UTS dan UAS diatas 70, hal ini akan membuat mahasiswa tidak lulus untuk mata kuliah itu, apa efeknya ? harus mengulang ditahun depan dan parahnya lagi harus membayar ulang biaya SKSnya, tentu sangat menyita waktu dan biaya.

Sedikit menerawang ke dalam pikiran para pembuat keputusan universitas, kenapa mereka membuat beberapa regulasi tentu hal ini tidak lepas dari pengaturan dan tanggung jawabnya untuk mengelola universitasnya, juga untuk keprofesionalan universitasnya dalam mengelola sistem akademiknya, ujung-ujungnya akan menimbulkan kesan dan kesan ini yang akan dijadikan sebagai nilai untuk perbandingan dengan universitas yang lain. Tentu menciptakan kesan ini sangat penting untuk universitas-universitas yang baru dibangun atau masih terhitung umurnya, berbeda misalnya dengan universitas negeri yang notabene sudah memiliki kesan yang mendalam dimata masyarakat.

Kembali ke masalah kehadiran diatas, menurut kacamata saya, sebagai seorang mahasiswa yang tidak hanya fokus kuliah saja namun juga bekerja, tentu saya kurang setuju, kenapa? Jelas saja, karena kehadiran itu amat sangat susah untuk mahasiswa yang juga bekerja, walaupun memang benar kita yang mengambil langkah dan harus siap dengan resikonya, yaitu dengan tidak mengeluh dan tidak menjadikan bekerja sebagai alasan kita kuliah jadi mau tidak mau harus tunduk dengan regulasi ini. Tapi hal ini tidak bijaksana, karena ada pihak yang dirugikan,dan pihak mahasiswa yang dirugikan disini. Walaupun sebenarnya hal ini masih bisa diatasi dengan kesepakatan dengan dosen misalnya dengan membuat bahwa kehadiran itu tidak sama sekali dihitung persentasenya untuk kelulusan matakuliah tertentu.

Saya akan sedikit bercerita tentang regulasi disuatu universitas yang saya sendiri kuliah disana.

Sebelum masuk kegiatan kuliah pertama di semester pertama memang benar sudah ada sosialisasi kepada seluruh mahasiswa di universitas ini tentang regulasi bahwa maximal 4 kali pertemuan untuk masing-masing mata kuliah, jika lebih dari 4x pertemuan tidak masuk maka dianggap tidak lulus, dan harus mengulang matakuliah tersebut. Dan dengan sangat bangganya itu disosialisasikan setelah mahasiswa dinyatakakan resmi menjadi mahasiswa, dan bukan saat menjadi calon mahasiswa.

Lalu? kita mahasiswanya diam, tentu tidak, ada beberapa yang protes dan juga complain, namun complainnya tidak didengar, jelas!! Mereka yang mensosialisasikan bersandar kepada para pembuat keputusan di universitasnya, "jika mau complain silahkan ke bagian berwenang", katanya. Mahasiswapun mau tidak mau harus mengikuti regulasi ini, jelas bukan tanpa alasan hanya karena uang pangkal lumayan besar sudah masuk kesana.

Parahnya lagi regulasi ini dibuat baru tahun ini, dan juga dibuat karena tahun-tahun kebelakang banyak sekali mahasiswa yang complain karena perubahan nilai absen yang akhirnya membuat mahasiswa yang tidak lulus menjadi lulus karena absennya. Sehingga muncullah statement "Tahun ini dan kedepannya kami tidak akan menerima komplain perubahan nilai karena absen, silahkan koordinasi dengan dosen masing-masing mata kuliah dan ingat maksimal adalah 4x tidak masuk."

Terdengar sedikit lucu memang, civitas akademika mengatakan hal seperti itu. Bagi penulis hal ini lucu karena civitas akademika yang tugasnya melayani, membimbing para akademika (mahasiswa) berkata "kami tidak menerima complain" , seolah mereka tidak mau melayani complain karena ini yang mereka anggap sangat banyak di tahun-tahun lalu. Sekali lagi ini karena regulasi ini, para civitas akademika ini bersandar pada regulasi ini. Lantas kepada siapa seharusnya tulisan ini ditujukan?

0 Komentar